CIREBON, PILARadio – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia mengunjungi Polresta Cirebon dalam rangka meninjau Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) pasca terjadi perusakan dan pembakaran dalam aksi unjuk rasa di DPRD Kabupaten Cirebon pada tanggal 30 Agustus 2025.
Menteri PPPA Republik Indonesia, Arifatul Choiri Fauzi, menjelaskan bahwa kunjungan mereka ke Kabupaten Cirebon hari ini bertujuan untuk meninjau secara langsung 13 anak yang berkonflik dengan hukum karena diduga terlibat dalam peristiwa tersebut. (Selasa, 09/09)
“Anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini tetap akan menjalani proses hukum, namun tetap akan kami berikan pendampingan agar hak-hak mereka tetap terlindungi,” ujarnya.
Arifatul menyampaikan bahwa peristiwa ini menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa anak memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun, hal tersebut harus disampaikan dengan cara yang baik dan damai.
“Ini menjadi pengingat bagi kita semua sebagai orang tua, keluarga, sekolah, dan masyarakat bahwa kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk mengingatkan anak-anak bahwa mereka boleh menyampaikan pendapat, tetapi harus dilakukan dengan cara yang baik,” ucapnya.
Lebih lanjut, Arifatul menekankan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini masih berusia di bawah 18 tahun. Oleh karena itu, pendekatan restorative justice akan diterapkan agar hak-hak mereka sebagai generasi penerus bangsa tetap terpenuhi.
“Ini menjadi bahan evaluasi kita bersama. Tanggung jawab ini bukan hanya milik sekolah, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak agar ke depannya peristiwa seperti ini tidak terulang lagi,” ungkapnya.
Meskipun demikian, Kementerian PPPA merupakan kementerian klaster ketiga yang bersifat koordinatif. Oleh sebab itu, begitu menerima informasi, pihaknya langsung berkoordinasi dengan PPPA tingkat provinsi, kota, dan kabupaten untuk melakukan penjangkauan serta menjalin kerja sama dengan Polres, KPAI, dan berbagai pihak lainnya untuk melakukan pendataan.
“Di Jawa Barat sendiri, ada sekitar 239 anak yang terlibat dalam konflik. Bahkan, ada yang masih duduk di bangku SD. Mereka diajak melalui pesan berantai WhatsApp untuk menghadiri konser dan menonton pertandingan sepak bola, tetapi ternyata mereka justru diturunkan di lokasi konflik tersebut,” pungkasnya.