PILARadio.com – Anggota DPR RI kini menerima tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan, yang membuat total pendapatan resmi mereka melampaui Rp100 juta setiap bulan. Kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kian sulit.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), besarnya tunjangan dan gaji DPR ini tidak sepadan dengan kinerja parlemen yang dinilai tidak memuaskan, serta tidak mencerminkan kepekaan terhadap situasi rakyat.
“Keputusan ini tidak pantas di tengah rakyat kesulitan membeli kebutuhan pokok dan menghadapi kenaikan pajak,” kata Egi Primayogha, peneliti ICW, Dilansir dari BBC News Indonesia pada Senin (18/08).
Total Gaji dan Tunjangan Anggota DPR RI 2025
Penghasilan anggota DPR terdiri dari berbagai komponen, antara lain:
-
Gaji pokok: Rp4.200.000 – Rp5.040.000 (tergantung jabatan)
-
Tunjangan jabatan: Rp9.700.000
-
Tunjangan komunikasi: Rp15.554.000
-
Tunjangan kehormatan: Rp5.580.000
-
Tunjangan istri/suami dan anak: Rp588.000
-
Uang sidang/paket: Rp2.000.000
-
Bantuan listrik dan telepon: Rp7.700.000
-
Asisten anggota: Rp2.250.000
-
Tunjangan pengawasan dan anggaran: Rp3.750.000
-
Tunjangan PPh 21 dan tunjangan beras
Jika ditotal, pendapatan bersih anggota DPR sebelum tunjangan rumah sudah mencapai sekitar Rp54 juta per bulan. Dengan tambahan tunjangan rumah Rp50 juta, jumlahnya melewati Rp100 juta setiap bulan.
ICW: Tunjangan Rumah DPR Sebesar Rp50 Juta Tidak Etis
ICW memperkirakan bahwa kebijakan tunjangan rumah ini dapat menyebabkan pemborosan anggaran hingga Rp1,74 triliun dalam satu periode jabatan (60 bulan) untuk 580 anggota DPR. Kritik dilontarkan karena besarnya dana tersebut bertolak belakang dengan semangat efisiensi anggaran yang diklaim pemerintah.
“Mengeluarkan triliunan rupiah untuk tunjangan rumah DPR sangat tidak etis di tengah naiknya harga kebutuhan pokok, PPN 12%, PBB, dan gelombang PHK,” ujar Egi.
Naiknya Gaji DPR Dibandingkan Periode Sebelumnya
Data menunjukkan bahwa pendapatan resmi DPR periode 2025 meningkat dua kali lipat dibandingkan periode 2019–2024. Namun, kinerja legislatif dinilai tidak mengalami peningkatan signifikan.
Menurut Lucius Karus, peneliti Formappi, banyaknya tunjangan DPR RI seperti tunjangan komunikasi, kunjungan kerja, dan sekarang perumahan, justru menjadi ironi.
“Tunjangan ini seperti subsidi terselubung dari negara untuk para wakil rakyat. Sayangnya, kinerjanya tetap tidak sebanding,” ujar Lucius.
Partisipasi dan Transparansi Legislasi Masih Minim
Meskipun Ketua DPR Puan Maharani mengklaim DPR telah menerima 5.642 laporan masyarakat dan menyelesaikan 14 RUU dalam setahun terakhir, partisipasi publik dalam pembahasan RUU tetap dipertanyakan.
Beberapa undang-undang seperti RUU Pilkada dan UU TNI disahkan dengan proses tertutup dan minim pelibatan masyarakat, bahkan sempat memicu demonstrasi.
Tanggapan DPR Soal Tunjangan Rumah Rp50 Juta
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa tunjangan ini menggantikan fasilitas rumah dinas yang disebut dalam kondisi rusak. Kebijakan ini mengacu pada Surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 dan keputusan Kementerian Keuangan berdasarkan angka tunjangan DPRD DKI Jakarta.
“Angka Rp50 juta per bulan mengacu pada standar Kemenkeu dan bukan merupakan kompensasi, tapi pengganti rumah dinas,” kata Indra.
Namun, ICW mencatat bahwa rumah dinas DPR di Kalibata dan Ulujami masih tercatat dalam sistem pengadaan negara dan bahkan dialokasikan anggaran pemeliharaan hingga Rp374 miliar.
Kritik Semakin Tajam Saat Ekonomi Lesu
Bersamaan dengan pemberian tunjangan fantastis ini, masyarakat menghadapi kenaikan harga beras, PPN, dan PBB, serta gelombang PHK yang meningkat 32,19% dalam semester pertama 2025. Survei juga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%, menempati posisi ke-10 dari 11 lembaga nasional.
Kesimpulan: DPR Harus Evaluasi Etika dan Kepatutan Kebijakan
Kebijakan pemberian tunjangan rumah Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR dinilai banyak pihak tidak patut dan harus ditinjau ulang. Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit, kebijakan ini dianggap tidak etis, tidak efisien, dan tidak mencerminkan empati politik.