PILARadio.com – Bahan bakar minyak (BBM) alternatif berbasis biomassa kembali menjadi sorotan. Salah satu yang banyak dibahas adalah biofuel dari jerami padi. Meski dinilai memiliki potensi besar, BRIN menegaskan bahwa pengembangan bioetanol dari jerami masih menghadapi banyak tantangan teknis dan biaya produksi yang tinggi.
Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN, Cuk Supriyadi Ali Nandar, menyebut riset biofuel dari jerami yang dilakukan pada 2015–2016 menunjukkan sejumlah kendala besar, terutama rendemen yang rendah dan belum adanya teknologi produksi yang efisien.
Secara teori, biomassa seperti jerami memang dapat dikonversi menjadi bahan bakar cair seperti etanol. Namun, keberhasilan proses ini dipengaruhi oleh pra-perlakuan yang efektif dan murah, teknologi produksi yang efisien, serta logistik dan rantai pasok yang tertata baik. Biofuel yang dihasilkan pun wajib memenuhi standar nasional dan internasional.
Peneliti Pusat Riset Teknologi Bahan Bakar BRIN, Prof. Rizal Alamsyah, menjelaskan bahwa jerami padi memiliki potensi tinggi sebagai bahan baku bioetanol karena kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain ramah lingkungan, bioetanol dari jerami menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil. Namun, di tingkat global, produksi komersialnya masih dalam fase pengembangan dan belum meluas.
Supriyadi menambahkan bahwa komposisi kimia jerami padi didominasi oleh karbohidrat kompleks: selulosa 37,71 persen, hemiselulosa 21,99 persen, lignin 16,62 persen, serta mineral seperti silika yang sangat tinggi. Kandungan silika hingga 80 persen dalam abu jerami membuat proses fermentasi menjadi lebih sulit, sehingga efisiensinya rendah.
Proses produksi bioetanol dari jerami dilakukan melalui tahapan pretreatment, fermentasi oleh mikroorganisme, distilasi, dan dehidrasi. Namun, kendala terbesar adalah rendahnya hasil bioetanol, ketergantungan pada peralatan dan teknologi canggih, serta biaya energi yang tinggi jika menggunakan metode seperti gasifikasi atau pirolisis.
BRIN mengidentifikasi tiga tantangan utama:
- Biaya pra-perlakuan tinggi yang tidak sebanding dengan harga jual bioetanol.
- Logistik dan pasokan jerami yang harus stabil dan konsisten dari petani.
- Efisiensi produksi rendah, terutama dibandingkan produksi etanol berbahan jagung atau tebu.
Secara global, penelitian bioetanol dari jerami berfokus pada peningkatan efisiensi pra-perlakuan, hidrolisis, dan fermentasi. Negara-negara Asia seperti Vietnam, Jepang, India, Thailand, dan Filipina menjadi wilayah kajian karena tingginya produksi beras. Indonesia pun memiliki pasokan jerami melimpah, tetapi belum dimanfaatkan optimal.
Ke depan, BRIN tengah menyiapkan langkah pengembangan, termasuk optimalisasi mikroba, desain reaktor baru, hingga pendekatan biologis dan kimia yang lebih inovatif. Untuk dapat dipasarkan, bioetanol dari jerami harus lulus uji laboratorium, memenuhi standar mutu seperti SNI, ASTM, atau JIS, serta mengantongi izin komersialisasi dari kementerian terkait.
Sumber : www.kompas.com


















