PILARadio.com – Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menanggapi maraknya pelaku usaha yang berusaha menghindari pembayaran royalti dengan memutar suara burung atau suara alam di tempat usaha. Menurutnya, tindakan tersebut belum tentu bebas dari kewajiban royalti, tergantung sumber rekaman yang digunakan.
Dharma menjelaskan, suara alam seperti kicauan burung tetap bisa dikenakan royalti jika rekaman tersebut merupakan hasil produksi pihak tertentu. Produser fonogram atau pihak yang pertama kali merekam suara itu memiliki hak terkait atas rekaman audio, sehingga penggunaannya secara komersial tetap memerlukan izin dan pembayaran royalti.
“Tidak ada kewajiban memutar musik. Tapi kalau memutar, baik musik Indonesia, luar negeri, atau bahkan suara burung yang direkam, tetap harus menghormati hak cipta dan hak terkait,” kata Dharma. Ia menambahkan bahwa royalti musik tidak hanya berlaku untuk karya lokal, tapi juga internasional. LMKN telah bekerja sama dengan lembaga manajemen kolektif dari luar negeri untuk memfasilitasi pembayaran royalti lintas negara.
Polemik royalti musik mencuat kembali setelah kasus Mie Gacoan menjadi sorotan. Salah satu pemilik Mie Gacoan Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran hak cipta. Ia digugat oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) SELMI karena memutar musik di tempat usaha tanpa izin resmi.
Setelah kasus tersebut, sejumlah pelaku usaha mulai waspada. Beberapa di antaranya memilih tidak lagi memutar lagu, bahkan menggantinya dengan suara alam dari layanan streaming. Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, mengatakan bahwa masih banyak pengusaha yang belum memahami aturan terkait royalti musik dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan kebingungan di lapangan.