PILARadio.com – Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) melalui ketua umumnya, Piyu dari Padi Reborn, menanggapi fenomena maraknya kafe dan restoran yang memilih memutar suara alam atau kicau burung daripada lagu-lagu berhak cipta. Menurutnya, langkah itu diambil pelaku usaha karena kekhawatiran terhadap kewajiban membayar royalti musik.
Piyu mengatakan bahwa AKSI tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Ia bersama timnya tengah menyusun usulan tarif serta mekanisme pelaksanaan royalti yang lebih jelas dan adil bagi pelaku usaha. “Tadi pagi kami baru diskusi FGD. Dari AKSI menyampaikan usulan tarif dan implementasinya. Tunggu saja hasilnya,” ujar Piyu saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Senin (4/8/2025).
Menurut Piyu, kekhawatiran yang dirasakan pemilik kafe dan resto cukup bisa dimengerti, namun ia berharap tidak berkembang menjadi ketakutan berlebihan. Ia menegaskan bahwa sistem pembayaran royalti sebenarnya sudah diatur sejak 2014 dan pelaku usaha hanya perlu mengikuti mekanisme yang berlaku. “Gak usah takut. Itu sudah ada aturannya dari 2014. Sekarang tinggal tunggu hasil diskusinya,” jelasnya.
FGD tersebut berlangsung di Hotel Santika, Bogor, dan menjadi bagian dari upaya AKSI untuk menjembatani kepentingan antara pencipta lagu dan pelaku usaha. Piyu juga menegaskan bahwa AKSI tidak berniat mempersulit siapapun, melainkan mendorong keadilan bagi para komposer melalui regulasi yang transparan.
Sementara itu, isu ini sebelumnya juga mendapat perhatian dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Ketua Umum LMKN, Dharma Oratmangun, menyatakan tidak mempermasalahkan penggunaan suara burung di tempat usaha. Namun, ia mengingatkan bahwa suara alam atau kicauan burung juga dapat memiliki hak cipta tergantung sumber dan penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran atas hak kekayaan intelektual perlu terus disosialisasikan.