PILARadio.com – Draft Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran menuai polemik di publik. Sebab, pengaturan isinya dinilai mengambil wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu poinnya terkait penyelenggaraan platform digital penyiaran.
Dengan kata lain, kreator konten yang memiliki dan menjalani akun media sosial seperti Youtube atau Youtuber, TikTok atau Tiktoker juga masuk dalam ranah UU Penyiaran ini. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menilai bahwa jika membaca rumusan draft yang sekarang disusun oleh DPR, pengaturan revisi UU Penyiaran akan menjangkau platform digital. Termasuk konten-konten yang didistribusikan melalui platform berbasis user-generated content (UGC).
“Seperti Youtube, TikTok, dan sebagainya,” ujar Wahyudi mengutip Kontan, Rabu (15/4/2024). Pengaturan tersebut dinilai overlapping dengan pengaturan dalam undang-undang lain. Sebab, saat ini pengaturan platform berbasis UGC seperti Youtube, TikTok, dan sebagainya mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bahkan jika dicek dalam PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik maupun Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, sudah jelas pengaturan terhadap konten-konten yang didistribusikan atau ditransmisikan melalui platform berbasis UGC.
“Tentu menjadi problematis ketika konten yang didistribusikan melalui platform UGC itu dipersamakan dengan konten siaran,” ucap Wahyudi. Sebab, lanjut Wahyudi, konten siaran dihasilkan oleh lembaga penyiaran seperti televisi, rumah produksi, dan sebagainya. Sedangkan, konten yang didistribusikan melalui platform UGC adalah konten yang diproduksi perseorangan atau content creator dan kemudian didistribusikan melalui platform UGC.
Seperti diketahui, dalam pasal 34F ayat (2) disebutkan bahwa: Penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal itu sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Isi Siaran (SIS).
Pengaturan baru ini menimbulkan banyak kekhawatiran di kalangan kreator konten dan masyarakat luas. Mereka khawatir bahwa kebebasan berekspresi melalui platform digital akan terhambat oleh regulasi yang lebih ketat dan birokratis. Kritikan juga datang dari berbagai pihak yang menilai bahwa revisi UU Penyiaran ini tidak hanya tumpang tindih dengan UU ITE tetapi juga menambah beban administratif bagi kreator konten yang harus memverifikasi setiap konten yang mereka buat.
Wahyudi menambahkan bahwa pendekatan regulasi yang sama antara konten siaran tradisional dan konten UGC tidak mempertimbangkan perbedaan fundamental antara kedua jenis konten tersebut. Konten siaran tradisional biasanya diproduksi oleh tim profesional dengan proses produksi yang kompleks dan biaya yang tinggi, sementara konten UGC sering kali diproduksi oleh individu atau kelompok kecil dengan peralatan sederhana dan anggaran terbatas.
Dengan demikian, banyak pihak mendesak agar revisi UU Penyiaran ini dikaji ulang dengan lebih mendalam, melibatkan lebih banyak stakeholder dari berbagai sektor, termasuk kreator konten, platform digital, dan pakar hukum. Mereka berharap regulasi yang dihasilkan bisa lebih seimbang dan adil, tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi dan kreativitas yang telah berkembang pesat di era digital ini.