Jakarta, 10 Maret 2025 – Kecerdasan Artifisial (AI) kini semakin diakui sebagai motor utama perubahan dalam industri berbasis teknologi, berpotensi menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan tingkat adopsi teknologi yang tinggi di Asia Tenggara, memiliki peluang besar untuk memanfaatkan AI secara lebih luas dan strategis.
Namun, bagaimana AI dapat benar-benar memperkuat ekonomi Indonesia? Pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam diskusi panel bertajuk “Masa Depan AI: Mampukah Memperkuat Ekonomi Indonesia?” yang diadakan oleh Forum Wartawan Teknologi (FORWAT) dalam rangka memperingati HUT ke-5 FORWAT.
Menurut laporan McKinsey Global Institute (2023), AI diprediksi akan menyumbang hingga USD 13 triliun terhadap ekonomi dunia pada 2030, dengan rata-rata pertumbuhan PDB global sebesar 1,2% per tahun. Sementara itu, laporan dari PwC menyebutkan bahwa AI bahkan dapat berkontribusi lebih besar, mencapai USD 15,7 triliun di tahun yang sama.
Dalam konteks nasional, data Oliver Wyman 2023 menunjukkan bahwa hanya 13% bisnis di Indonesia yang telah berada pada tahap adopsi AI tingkat lanjut (advanced adoption). Meski demikian, lebih dari 80% bisnis di Indonesia telah mulai berinvestasi atau memanfaatkan AI dalam berbagai aspek operasional mereka.
Melihat tren ini, World Economic Forum (WEF) menyoroti AI sebagai elemen kunci dalam Revolusi Industri 4.0, yang tidak hanya berperan dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam penciptaan lapangan kerja baru. Bahkan, menurut Bank Dunia, negara-negara berkembang dapat memperoleh manfaat besar dari AI karena kemampuannya untuk mengurangi kesenjangan digital serta mendorong inovasi di sektor penting seperti pertanian, kesehatan, dan pendidikan.
Dalam diskusi panel yang digelar FORWAT, berbagai perspektif dari sektor industri, akademisi, dan pemerintah turut dibahas untuk menyoroti bagaimana AI dapat dioptimalkan guna memperkuat ekonomi Indonesia. Hadir sebagai pembicara utama diantaranya Adrian Lesmono sebagai Country Consumer Business Lead NVIDIA, Sri Safitri sebagai Sekjen Partnership Kolaborasi Riset & Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Nailul Huda sebagai Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Insaf Albert Tarigan sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan. Ardhi Suryadi sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Detik (moderator). Menurut Adrian Lesmono sebagai kedaulatan AI bukan sekadar konsep futuristik. tetapi sudah menjadi kebutuhan strategis bagi Indonesia.
“Teknologi AI yang cepat, aman, dan mandiri merupakan fondasi utama dalam membangun kedaulatan digital nasional. Kedaulatan AI bukan hanya tentang penguasaan teknologi, tetapi juga kontrol penuh atas data, efisiensi operasional, serta akselerasi digital yang berkelanjutan,” paparnya.
Pemerintah sendiri telah mulai mengambil langkah konkret dengan membentuk KORIKA, yang berfungsi sebagai jembatan antara industri, akademisi, komunitas, dan pemerintah dalam pengembangan AI yang lebih strategis dan berkelanjutan.
Namun, menurut Sri Safitri, pengembangan AI di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan mendasar. “Salah satu hambatan terbesar adalah keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memiliki keahlian di bidang AI. Hingga saat ini, program studi khusus AI masih minim, sehingga diperlukan lebih banyak investasi dalam pelatihan dan pengembangan talenta digital,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti kendala lain seperti kurangnya infrastruktur digital, keterbatasan pendanaan untuk riset & pengembangan (R&D), serta regulasi terkait pengelolaan data yang belum optimal.Di sisi lain, Nailul Huda dari CELIOS menegaskan bahwa adopsi AI di Indonesia telah berkembang pesat, terutama di sektor finansial dan ekonomi digital.
“AI kini menjadi tulang punggung transformasi ekonomi. Dengan strategi pemerintah yang tepat, serta kolaborasi antara industri dan akademisi, AI dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Insaf Albert Tarigan dari Kantor Komunikasi Kepresidenan menekankan pentingnya kebijakan yang progresif dan komprehensif untuk mendukung pengembangan AI di Indonesia. “Pemerintah perlu menyusun blueprint strategi AI nasional yang dapat menjadi panduan bagi industri dan sektor swasta. Selain itu, kolaborasi dengan mitra global dalam bentuk transfer teknologi, investasi, dan penelitian bersama juga menjadi kunci untuk mempercepat adopsi teknologi AI,” ujarnya.
Untuk memperkuat kedaulatan AI, Indonesia tidak boleh hanya menjadi “pengguna” teknologi AI, tetapi harus mampu beralih ke fase Shaper dan Maker. Beberapa perusahaan nasional telah mulai mengambil langkah ke arah ini Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) telah mengadopsi AI dalam berbagai aspek bisnis, seperti layanan pelanggan (Sahabat-AI), AI Experience Center, serta Digital Intelligence Operation Center (DIOC).
GoTo menggunakan AI untuk mempersonalisasi pengalaman pelanggan dan memprediksi tren pasar.
Kata.ai berfokus pada pengembangan chatbot berbasis AI untuk meningkatkan interaksi dengan pelanggan. Di sektor pemerintahan, AI mulai digunakan untuk otomatisasi layanan publik serta moderasi konten digital melalui Komdigi. Dengan semakin meluasnya penerapan AI di berbagai sektor, diskusi panel ini menjadi momentum penting untuk menyusun strategi yang lebih komprehensif dan inklusif dalam pemanfaatan AI bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam ekosistem AI global. Namun, untuk mencapai hal tersebut, diperlukan investasi yang lebih besar dalam SDM, infrastruktur, regulasi, serta kolaborasi dengan mitra strategis. Dengan kebijakan yang tepat dan komitmen dari berbagai sektor, AI bukan hanya akan mengakselerasi transformasi digital, tetapi juga memperkuat ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.